9.04.2013

Pembakar Kepadaman: "Jika Orang Tuamu Tidak Salafy, Seberapa Baktimu?"



Kalau di sisimu ada orang tuamu sekarang, terutama ibumu, coba bahagiakan mereka atau salah satu dari mereka sekarang, apapun itu caranya selama ma'ruf, dan saksikan keajaiban dan keindahan setelahnya, baik tepat setelahnya, atau esoknya, atau kapanpun di masa depannya; sebagai balasan dari Allah pada anak yang berusaha membahagiakan orang tuanya. Bahkan jika seorang kafir sekalipun yang berbuat baik pada orang tuanya, Dia dengan keadilan yang sempurna akan membalas kebaikan untuk si kafir tersebut; meskipun amalan mulia itu takkan berarti di Akhirat nanti.

Kalau orang tuamu sedang membutuhkanmu, maka luangkan waktu jika mungkinmu dan tunaikan hajat mereka jika mampumu. 

Ada beberapa orang yang mengagumkan dalam hidupmu. Mereka hebat di bidangnya. Dan terkadang kehebatan mereka tak masuk akal bagimu; disebabkan terlalu hebatnya. Jika ternyata mereka adalah orang-orang shaleh, maka sangat mungkin Allah menguatkan mereka disebabkan mereka berbakti pada orang tua.


Saya punya teman. Seorang anak desa di Jawa Timur. Di masa kecil ia sakit-sakitan hingga kecil harapan hidup menerus hingga dewasa; saking buruknya penyakitnya. Namun Allah takdirkan ia tetap hidup meremaja. Rumahnya kecil, beralaskan bumi. Dan dia sekarang kuliah di LIPIA. Dan tiap pulang ke kampungnya, membantu orang tuanya di tegal (ladang). Biasanya setelah selesai liburan kembali ke Jakarta, kulitnya agak menghitam; karena selama liburan terbiasa bermandikan terik. 

Dahulu ia minim bahasa Arabnya. Namun, kini ia mampu menelaah kitab berbahasa Arab apapun. 

Dahulu ia grogi jika berbicara di depan para mahasiswa dan bahasa Arabnya berbata-bata. Namun, kini ia terbiasa berbicara bahkan menegur kami dengan bahasa Arab yang jauh lebih baik dari kami.

Yang saya kenal, dia adalah seorang muda yang berilmu, berakhlak, rendah hati, lisan selalu terjaga, dan shalih. 

Lalu, mungkin di antara Anda -seperti kebiasaan beberapa orang- akan bertanya, "Apa manhajnya? Apa aqidahnya?"

Daripada Anda bertanya apa manhajnya dan apa aqidahnya, tanyakan diri Anda sendiri: "Manhaj saya apa? Apa saya cuma merasa bermanhaj sahih padahal tidak? Aqidah saya apa? Memangnya seberapa sih ilmu aqidah saya?"

Dan, dia adalah seorang shalih yang perilaku kesehariannya lebih 'salafy' dari sebagian orang yang merasa diri mereka sudah 'salafy' begitu saja. Pahit ini dibaca, namun benar ini di realita. Karena dia pun menelaah kitab-kitab warisan ulama pengikut salaf dan kami menyaksikan dia mengamalkan secara maksimal. Isbal tidak, jenggotan iya.

(Mengingat neraca kesalafian seorang laki-laki di masa kini yang paling masyhur ada dua: "Jenggotan dan tidak isbal". Itu syaratnya.)

Yang pernah ketika saya menawarkan dia suatu pengajian di tengah masyarakat, saya katakan padanya agar tahu medan, "Perlu diketahui, mayoritas peserta insya Allah diperkirakan orang-orang Salafy."

Dia pun membalas dengan lembut:

"يا أخي, أهم الشيء أنا مسلم"

Artinya: (Mengklaim diri pengikut Salaf kok ga ngerti bahasa Arab?)

Cerita lainnya:

Teman kampus pula. Seorang mahasiswa ganteng asal Bogor. Dahulu ia pengikut LDII, lalu bertaubat alhamdulillah. Bertahun-tahun saya berteman dengannya. Tiap mendapat uang dari kampus, sebagian besarnya akan ia berikan langsung pada orang tuanya. Ia sangat berbakti pada keduanya. Hingga beberapa waktu yang lalu, saya diberi kabar olehnya ayahnya telah wafat.

Baktinya pada orang tua, menjadikan dia hidup dengan kesalehan dan penjagaan dari Allah Ta'ala. Dia pun menjadi seorang Ahlul Qur'an. Tiada waktu senggang melainkan saya saksikan ia membaca Al-Qur'an. Kadang diam-diam dia terlihat mulutnya bergerak perlahan-lahan mengulang hafalannya. 

Hingga tanpa diketahui banyak dari kami, ternyata ia telah menghafal 30 juz. Subhanallah. Tiap akhir pekan (Weekend), ia pulang ke kampungnya di Bogor untuk mengajarkan para santri di sebuah pondok Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama. Sempat ia ajarkan mereka bahasa Inggris, namun karena kurang memadai, maka tidak maksimal.

Anak muda ini adalah anak shaleh.

Lalu, mungkin di antara Anda -seperti kebiasaan beberapa orang- akan bertanya, "Apa manhajnya? Apa aqidahnya?"

Dia adalah seorang yang juga pengikut Salaf, mengkaji kitab-kitab ulama pengikut Salaf, menghafal ayat-ayat, hadits-hadits, dan akhlaknya adalah akhlak Salaf. Isbal tidak, jenggotan iya.

================================

Kedua sample di atas, tidak pernah ikut kajian asaatidzah yang mu'tabar (dianggap) atau recommended ala golongan Salafy negeri ini; yang mana bagi beberapa ikhwah-akhwat: "Jika sudah ikut kajian mereka, berarti sudah mendapatkan dakwah Sunnah." yang seolah-olah di negeri ini dakwah mengenal Al-Qur'an dan Sunnah hanya ada pada kajian-kajian ustadz tersebut. 

Tidak sama sekali bermaksud mendiskreditkan asatidzah tersebut dan bukan untuk menghancurkan komunitas. Namun, saya mengajak benar-benar Anda untuk mengaca baik-baik. Jangan mengira manhaj Salaf itu dikenal hanya oleh kajian guru-gurumu saja. Jangan mengira Sunnah itu cuma dipelajari golonganmu atau yang seragam denganmu saja. Bahkan bisa jadi Anda bicara atau klaim saja yang besar. 

Kalau sudah menisbatkan diri pada Salaf, coba tengok bapak ibumu. Jangan hebatnya menyingkirkan muslim lain dari kategori pengikut Salaf, sementara bapak ibu sendiri ternyata bukan termasuk golonganmu pula. Anda berusaha menjadi pengantar hidayah Qur'an dan Sunnah pada orang-orang yang sebelumnya tidak Anda kenal, namun bapak ibu sendiri kurang diperhatikan, padahal -secara tekstual- mereka bukan Salafy.

Merupakan kebaktian terbesar anak pada ibu bapaknya: menyampaikan mereka kebenaran dalam beragama dan mengajarkannya. 

Apa jangan-jangan dakwah Salafy itu cuma di Facebook, Blog, kanal TV tertentu dan wadah-wadah lain? 

Apa jangan-jangan Anda bersemangat memprolamirkan diri sebagai "Salafy", dan Anda lupa orang tua Anda sendiri bukan "Salafy"? Itu jika sesuai dengan keumuman peraturan untuk dianggap sah salafy: tidak memotong jenggot, tidak isbal, tidak masuk yayasan, tidak bekerjasama dengan Hizby, Ahlul Bid'ah etc. Dan mungkin saja bapak Anda pemotong jenggot, bercelana 2 meter, pengurus yayasan, bekerjasama dengan golongan berkarya, bahkan bisa jadi pencetus bid'ah. 

Anaknya Salafy, bapaknya tidak. Anaknya sudah tidak sedih dengan itu. Tapi, anaknya malah lebih sedih dengan fenomena tahdzir antar Salafy. Really, seolah-olah Salafiyyah itu hanya masalah komunitas semata, tapi covernya saja manhaj dan hidayah. Seolah-olah begitu. Hidayah Islam yang lurus itu pertama-tama diupayakan untuk keluarga sendiri atau untuk orang Mesir yang berdemo?

Tidak salah penisbatan diri pada Salaf. Dan kadang itu dibutuhkan sebagai identitas ketika ditanya; saking bermacamnya model Muslim masa kini. Namun, jika ternyata lain klaim lain laku, lain ucap lain tingkah, lain nama lain isi, berarti Anda berdusta. Mengklaim diri bermanhaj Salaf itu bukan perkara ringan. Ia jauh lebih berat dari mengklaim diri sebagai pengikut partai fulan atau Hiz fulan. Justru yang merasa itu ringanlah yang sebenarnya meremehkan atau bahkan jahil. Klaim perlu bukti dan konsekuensi.

Jika ada seseorang baru bisa menghafal setengah juz lalu mengklaim diri sebagai "Qur'any" atau "Ahlul Qur'an", Anda tidak akan setuju. Klaim terlalu besar dari kenyataan.

Jika ada seseorang baru bisa menghafal 10 hadits lalu mengklaim diri sebagai "Naashir As-Sunnah" atau "Ahlul Hadits", Anda tidak akan setuju. Klaim terlalu besar dari kenyataan.

Jika ada seseorang enggan mengerti bahasa orang Salaf (Arab), tidak faham ayat-ayat Al-Qur'an, dan baru tahu sedikit tentang Sunnah, Anda akan setuju jika dia mengklaim diri sebagai "Salafy" atau "Ahlus Sunnah"?

Sesuatu yang berat dianggap berat bagi yang memahami beratnya.

Bagi yang jahil tentangnya, ia akan menganggapnya ringan-ringan saja.

Dan semua akan terlihat dan terbukti tidak dari omongannya.

Marahlah, tapi jangan pecahkan cermin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar