Dewasa ini energi di bumi yang berasal dari fosil (batu bara dan minyak bumi) sudah mencapai ambang krisis sedangkan kebutuhan manusia akan energi terus meningkat. Manusia merupakan makhluk yang tidak akan pernah merasa cukup terhadap perkembangan teknologi dan industri sehingga ekplorasi hasil bumi terus dilakukan dan meyebabkan cadangan energi semakin defisit. Permintaan pasar dunia akan energi yang berasal dari minyak bumi telah meningkat 3 kali lipat sejak tahun 1950 (Prihandana dan Hendroko, 2007). Hal ini merupakan salah satu pemicu terjadinya kelangkaan dan melonjaknya harga minyak dunia saat ini. Harga minyak dunia dapat menembus angka $ US 125 per barrel, yang merupakan harga dengan rekor tertinggi dunia untuk kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Sehingga pemerintah Indonesia mulai gencar untuk menerapkan
program penghematan energi dan mulai beralih untuk memanfaatkan energi terbarukan sebagai sumber energi alternatif yang murah, ramah lingkungan, dan dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup manusia secara langsung. Hal ini di dukung olehkondisi geografis Indonesia yang kaya akan sumber energi alternatif yang berasal dari alam seperti panas bumi, matahari, ombak laut, angin, air terjun, tumbuhan dan lain-lain. Sektor pertanian yang memberikan jawaban dan solusi yang tepat untuk masyarakat dunia dalam memenuhi kebutuhan energi terbaharukan (renewable energy) seperti biofuel.
Biofuel adalah bahan bakar nabati hasil dari proses pengolahan bahan organik, yang mampu menyerap Karbondioksida sebagai penyebab tingginya efek rumah kaca (Anonim, 2010). Bahan baku biofuel berasal dari tumbuhan atau olahan limbah rumah tangga. Salah satu limbah rumah tangga yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biofuel yaitu minyak jelantah dari sisa hasil proses penggorengan. Selama ini belum ada penelitian yang membahas dan mengukur secara rinci tentang potensi jumlah minyak jelantah yang dihasilkan dari pedagang warung makan, banyaknya penelitian tentang potensi minyak jelantah di fokuskan pada skala besar membuat penelitian ini penting untuk dilakukan karena skala kecil jika dikumulatifkan akan menghasilkan jumlah yang jauh lebih besar. Berdasarkan observasi awal dan wawancara penulis dengan pedagang, dihasilkan minyak jelantah sekitar 1-2.5 liter/hari setiap pedagangnya. Sebagian pedagang ada yang langsung membuangnya dan ada juga yang menggunakannya kembali. Pembuangan minyak jelantah dilakukan di saluran pembuangan yang akan menyebabkan terganggunya biota air disekitar lokasi pembuangan. Jika minyak jelantah dilakukan penggunaan secara berulang akan menimbulkan gangguan kesehatan. Minyak jelantah mengandung Free Fatty Acid (FFA) atau asam lemak bebas yang bersifat radikal bebas, zat karsinogen, kolesterol dan timbunan jaringan adiposa (hasil pencernaan dan metabolisme) yang merupakan faktor utama resiko penyebab penyakit kronis, degeneratif dan kanker yang mewabah diseluruh dunia tanpa mengenal batas umur, gender dan suku (Budiarso, 2004).
Minyak jelantah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif, karena kandungan yang terkandung dalam minyak jelantah berupa FFA yang di esterifikasi dengan methanol akan menghasilkan biodiesel (Suirta, 2009). Agar proses produksi biodiesel dapat berjalan secara kontinu, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui potensi dari minyak jelantah. Belum adanya yang memetakan secara rinci tentang jumlah minyak jelantah yang dihasilkan dari pedagang warung makan membuat penelitian ini penting untuk dilakukan melihat jumlah minyak jelantah dari skala kecil yang dapat diproyeksikan dalam jumlah besar. Kegiatan pemetaan yang dilakukan diawali dari sekitar Kampus Universitas Islam Indonesia (UII) Terpadu.-- (rully_septria@yahoo.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar